Sunday, November 22, 2009

Mind, Body, and Soul... Apa yang Membuat Manusia Seorang Manusia?

Dalam kehidupan kita, sebagai manusia yang tumbuh dan berkembang dalam zaman yang (katanya) modern ini, setiap aspek kehidupan memaksa kita untuk bergantung pada rasionalitas akal kita. Hampir semua pengujian kebenaran akan penjelasan suatu fenomena yang dibawakan penyampai berita, kita runut berdasarkan rantai kausalitasnya. Apabila rantai kausalitasnya masuk akal („make sense“) dan dapat kita pahami dengan gamblang, maka kita akan lebih mudah untuk mempercayai penjelasan dari penyampai berita. Yang perlu kita catat, bahwa proses perunutan kebenaran ini hanya dapat kita lakukan apabila kita memiliki kemampuan untuk menerjemahkan domain problem dari penyampai berita kepada pola2x logika yang kita piawai didalamnya.

Berdasarkan tulisan dari Herbert Simon (Pemenang Nobel Ekonomi 1978, Ekonom, Psikolog, Bapak Artificial Intelligence) yang bertajuk "Android Epistemology - Machine as Mind“ (1995), kepiawaian seseorang untuk menginterpretasi suatu masalah bergantung pada banyaknya pengalaman dirinya dalam berkutat dalam proses2x pemecahan masalah. Setiap pengalaman tertentu dalam memecahkan suatu masalah akan disimpan dalam otak dalam bentuk „chunks“ (indeks pengalaman). Menurut Simon, seorang ahli kelas dunia dalam bidang tertentu rata-rata membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 10 tahun latihan intensif untuk mengumpulkan kurang lebih 50.000 chunks (indeks pengalaman) dalam hidupnya. Apabila sang ahli telah berada dalam status keahlian tertentu, seringkali proses „pemecahan masalah“ tidaklah lagi menjadi proses „pemecahan masalah“, melainkan proses pemanggilan indeks pengalaman (layaknya komputer yang memanggil kembali data yang telah disimpan di masa lampau). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena, hampir semua variasi dan kombinasi dari masalah2x yang ada pada domain tertentu sudah pernah terpecahkan di masa lalu dan terekam baik dalam memorinya. Kalaupun ada masalah baru yang belum pernah dipecahkan sebelumnya, seorang ahli cenderung untuk menemukan solusi lebih mudah, dikarenakan ia memiliki koleksi rekaman chunks yang cukup banyak yang memudahkan ia untuk melakukan pengkombinasian chunks. Hmmh.. 10 tahun untuk menjadi ahli.. Waktu yang tidak sebentar tentunya..


Kurang dari dua dekade lalu, para ilmuwan komputer (computer scientists), khususnya yang mendalami bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence), mulai berusaha untuk menerjemahkan dan mentransfer keahlian dan kemampuan berfikir manusia kepada komputer/robot. Mengingat kapasitas memori dan kecepatan komputasi dari suatu komputer yang tumbuh dalam kecepatan yang mberlipat ganda, eksistensi manusia sebagai mahluk yang berfikir dan menghasilkan solusi dari suatu masalah kompleks berada dalam ancaman. Kita dapat saja menganggap ini omong kosong. Tetapi, bila kita tarik lagi ke belakang, ke era dimana Revolusi Industri yang dimotori oleh penemuan mesin uap berhasil merebut pekerjaan ribuan manusia, hal ini bukanlah hal yang menggantung di udara. Revolusi Informatika adalah era yang kita hidupi saat ini dan revolusi ini akan semakin kuat menggelinding untuk menyeleksi eksistensi manusia yang benar-benar unggul dari lainnya.

Manusia adalah entitas hidup yang terdiri dari trimatra, fikiran, tubuh, dan jiwa (mind, body, and soul). Manusia terhebat bukanlah lagi manusia terkuat tubuhnya layaknya zaman Hercules atau Samson. Keunggulan manusia sebagai mahluk berfikir juga sudah memulai zaman ujiannya, perlahan tapi pasti. Pada akhirnya keunggulan manusia ditentukan dari keunggulan jiwanya (soul). Saya percaya pada akhirnya yang membuat manusia unggul secara hakiki, adalah manusia-manusia yang memiliki keunggulan jiwa. Dengan keunggulan jiwa itu ia dapat mengarahkan pikiran dan tubuhnya kepada hal2x yang bermanfaat secara hakiki. Dan kesempurnaan jiwa ini adalah hal pertama yang harus dimiliki manusia sebelum kesempurnaan lainnya. Semua keunggulan2x yang bersifat fisik (body) dan fikiran (mind), akan menjadi sia-sia dan berpotensi destruktif bila tidak diawali dengan jiwa yang baik. Oleh karena itu sebagai seorang akademisi amatir yang terus belajar, saya percaya bahwa superioritas keilmuan ada pada ilmu2x “pembangun” jiwa. Ilmu yang mengenalkan manusia pada dirinya sendiri dan pada Tuhannya, bukan pada ilmu-ilmu berorientasi pembangunan fisik dan intelegensia yang cenderung menjauhkan manusia dari watak kemanusiaannya. Saya percaya pada keabadian suatu sumber ilmu yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Suatu sumber ilmu yang tidak berubah sedikitpun proposisi-proposisinya, terjaga isi dan kebenarannya, dan tetap berlaku (valid) hukum2xnya sampai akhir waktu.

Jadi kembali kepertanyaan sebelumnya apa yang membuat manusia seorang manusia? Tubuhnya? Fikirannya? atau Jiwanya? Saya serahkan jawabannya pada eksplorasi yang anda lakukan masing2x, semoga Tuhan selalu membimbing eksplorasi kita. Amin.

No comments:

Post a Comment