Sunday, November 29, 2009

Demokrasi, Voting, dan Kematian Socrates..

Dalam rutinitas keseharian kita, kita menginvestasikan mayoritas dari waktu kita untuk menggeluti bidang keahlian kita. Ada diantara kita yang menggeluti bidang bisnis, perbankan, mikrobiogi, rheologi, tata kota, e-commerce, fisika kuantum dan area-area menarik yang tak terhingga jumlahnya. Tapi bila kita pikirkan kembali, bidang yang kita geluti itu bila dibandingkan dengan seluruh domain permasalahan yang ada dunia mungkin hanyalah bagaikan sebutir pasir di hamparan pantai yang indah. Dan menakjubkannya, dengan kemurahan Tuhan, dengan keahlian terbatas di domain kecil yang kita geluti, kita mampu hidup dan (mungkin) memberi kontribusi kecil setidaknya bagi hidup kita sendiri, idealnya bagi orang banyak..


Dalam bidang keahlian yang kita geluti, kita menyadari bahwa pengetahuan dan kemampuan yang kita miliki sangatlah terbatas. Dalam domain keahlian yang sama, kita sadar akan keberadaan kolega-kolega kita yang kemampuan dan kontribusinya menjadi acuan kita. Belum lagi berbicara tentang domain keahlian diluar pengetahuan kita. Disetiap domain keahlian diluar bidang yang kita geluti, pastilah terdapat “pemain-pemain” handal dibidangnya masing-masing. Dan ketika suatu bidang di”raja”i oleh seseorang yang piawai (ahli) di bidang itu, maka “pemain-pemain” yang menggeluti bidang yang sama akan memiliki rasa respek dan keseganan pada sang ahli. Hal itu timbul, bukan karena sang ahli minta untuk dihargai, tetapi karena komunitas itu sadar bahwa sang ahli telah mengukir kemampuan, reputasi, dan jasa bagi komunitas itu. Tatanan sosial ini saya sebut sistem berbasis kompetensi.

Dalam pandangan naïf saya, contoh sistem berbasis kompetensi yang berjalan relatif baik dapat kita temui pada bidang olahraga (memang ini hanyalah idealisasi, tapi saya rasa diantara semua bidang yang ada, bidang olahraga cukup representatif). Bayangkan kita sedang berada dalam kompetisi olahraga beregu. Dalam konteks ini, seorang pemain akan dihargai atas keahliannya, tanpa memandang latar belakang si pemain, kelihaiannya akan menentukan posisinya dalam tim inti. Seseorang yang “jago” akan selalu memiliki tempat spesial dalam tim, dan seseorang yang kurang piawai, mungkin harus duduk di bangku cadangan untuk beberapa waktu. Apabila si pemain yang kurang lihai ini ingin bermain dalam tim inti, maka hal terbaik yang bisa ia lakukan adalah membuktikan diri dan menjadi lebih baik untuk mendapatkan posisinya di tim inti. Bisa saja pemain yang kurang lihai ini memaksakan diri, tapi secara alami, selama dia mengetahui ada koleganya yang lebih pantas untuk masuk kedalam tim inti dan dia jujur akan itu, maka ia akan tau untuk memposisikan diri. Idealnya, dia akan sadar untuk tidak membuat timnya kalah dalam kompetisi hanya karena menuruti egonya. Hierarki sosial yang ada dalam sistem olahraga ini yang menurut saya merepresentasikan sistem berbasis kompetensi. Pemain2x terbaik mendapat tempatnya di tim bukan karena minta untuk masuk dalam tim, tapi karena mereka pantas untuk bermain dalam tim. Karena tim membutuhkan kontribusi sang ahli untuk menang, dan hanya dengan memasukkan pemain2x terbaik, sebuah tim memiliki kemungkinan menang yang paling besar. Pemain2x yang belum baik mendapat tempat selanjutnya di tim bukan karena alasan lain selain dari tingkat keahlian mereka yang belum mumpuni, dan pemain-pemain ini sadar bahwa satu-satunya hal yang bisa membuat mereka masuk di dalam tim adalah dengan berusaha untuk menjadi lebih baik.


Akhir-akhir ini hembusan doktrin demokrasi semakin kuat ditiupkan. Seiring dengan ritme demokratisasi, ada kecenderungan kuat di masyarakat untuk menjadikan proses voting (pengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas) sebagai alternatif pengambilan keputusan utama dalam segala konteks. Dipicu dari kejanggalan ini, saya coba untuk mempelajari definisi dari demokrasi. Portal ensiklopedia bebas wikipedia memaparkan:

“Even though there is no specific, universally accepted definition of 'democracy', there are two principles that any definition of democracy includes, equality and freedom.[dubious – discuss] These principles are reflected by all citizens being equal before the law, and having equal access to power. A third common principle, though less measurable, is that all citizens are promised certain legitimized freedoms and liberties, which are generally protected by a constitution.

There are several varieties of democracy, some of which provide better representation and more freedoms for their citizens than others. However, if any democracy is not carefully legislated to avoid an uneven distribution of political power with balances, such as the separation of powers, then a branch of the sistem of rule could accumulate power and become harmful to the democracy itself.

The "majority rule" is often described as a characteristic feature of democracy, but without responsible government or constitutional protections of individual liberties from democratic power it is possible for dissenting individuals to be oppressed by the "tyranny of the majority". An essential process in representative democracies is competitive elections, that are fair both substantively and procedurally. Furthermore, freedom of political expression,freedom of speech and freedom of the press are essential so that citizens are informed and able to vote in their personal interests.„


Okie.. mm.. dari kutipan diatas hal-hal positif dari sistem ini diantaranya adalah: kesamaan setiap orang dalam hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan kebebasan untuk mengeluarkan ekspresi politis. Hal yang menarik dan menurut saya dilematis dari sistem ini, ialah fenomena majority rule dan tyranny of the majority. Proses pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam semua konteks permasalahan adalah suatu hal yang diragukan manfaat sejatinya.


Menelusuri keraguan atas implementasi demokrasi yang berkaitan dengan sistem voting, saya coba untuk menelaah video dokumenter online yang bercerita tentang pemikiran filsuf terkenal yunani, Socrates. Dalam video bertajuk "Socrates on Self-Confidence - Philosophy: A Guide to Happiness" , yang dipandu filsuf ternama inggris Alain de Botton, Socrates menjelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menjadi pengekor dari pendapat/ keputusan komunal dan seringkali gagal untuk bertahan pada pendapat mereka sendiri. Menurut Socrates, hal ini mungkin terjadi karena manusia ybs tidak memiliki kepercayaan diri atas keputusannya yang telah diambilnya Ini terjadi karena manusia cenderung malas untuk melakukan eksplorasi mendalam tentang keputusan yang diambilnya. Dikarenakan minimnya eksplorasi, maka manusia memiliki kepercayaan diri yang rendah dan cenderung untuk bersandar pada pemikiran komunal ("wisdom of the crowds") yang belum lebih baik dari pemikirannya sendiri.

Sejalan dengan pemikiran Socrates kali ini, menurut saya, kualitas keputusan terbaik akan didapat melalui suatu diskusi2x intensif dan vulgar yang akan mengungkap tabir kebaikan dan keburukan dari pendapat2x yang bersilangan. Dengan semangat untuk menggapai kebenaran, (bukan mencari siapa yang benar atau salah), semua konsekuensi baik dan buruk, kekuatan dan kelemahan, dari suatu gagasan harus dijabarkan dengan lantang melalui suatu diskusi/debat sportif yang jujur. Sebagaimana yang telah dikenal masyarakat kita sejak lama, proses pengambilan keputusan berdasarkan voting hanya dapat dilakukan ketika musyawarah mufakat mencapai titik matinya. Suatu titik dimana gagasan-gagasan telah diungkap tuntas kebaikan dan keburukannya secara vulgar. Dan proses pengujian kebenaran ini adalah hal yang dilakukan dalam sidang2x akademis, misal sidang sarjana s1, s2, s3. Seseorang dengan proposal nya harus mampu mempertahankan pendapatnya/gagasannya setelah menjawab hujan pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan dengan logis dan meyakinkan. Ini mengindikasikan bahwa sebenarnya masyarakat kita memiliki tatanan sosial yang sangat unggul karena sejatinya setiap pengambilan keputusan harus merujuk pada proses pengujian kebenaran melalui penerangan gamblang dan musyawarah mufakat. Proses elisitasi kebenaran/ pengambilan keputusan terbaik melalui proses voting adalah sesuatu yang dipertanyakan. Terlebih apabila voting dilakukan secara tertutup, dimana seseorang tidak dengan "jantan" melantangkan dukungannya pada quorum, dan menurut saya disinilah awal dari "korupsi" sistem terjadi, karena sikap muka dua dimungkinkan.

Kembali pada bahasan dan pengertian kita tentang terbatasnya kemampuan seseorang dalam menguasai domain keahlian tertentu. Saya selalu yakin bahwa dalam setiap pengambilan keputusan, dalam suatu konteks, suatu komunitas pasti memiliki seseorang yang lebih ahli dalam bidang tersebut. Mengambil analogi sebuah tim olahraga, hanya dengan melibatkan orang2x yang paling ahli sebuah tim akan mencapai kejayaannya. Oleh karena itu apabila sebuah komunitas menginginkan kejayaannya, maka para ahli harus mendapatkan tempat yang spesial, karena komunitas bergantung pada para ahli untuk merajai suatu kompetisi. Ketika suatu tim, dibentuk atas azas like and dislike, bukan atas dasar asesmen kompetensi yang jujur maka alih alih merajai kompetisi bisa jadi tim tersebut akan terdegradasi. Satu hal yang perlu diingat, bahwa asesmen kompetensi hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang memang ahli di bidangnya, bukan melalui pemungutan suara seluruh stakeholder tim. Sistem pemungutan suara (voting) jelas bukanlah sistem yang didasarkan atas asesmen kompetensi objektif. Sebuah tim harus jujur pada kemampuan anggotanya, layaknya tim olahraga profesional, tanpa memandang latar belakang seorang atlit (entah seseorang berasal dari eropa, asia, afrika) selama mereka superior dalam posisinya, maka kontribusinya akan dihargai mahal dalam sebuah tim. Dan saya sangat percaya bahwa sistem berbasis kompetensi adalah sistem yang menawarkan kecenderungan sukses yang paling tinggi.


Setelah mengulas pemikiran yunani, saya akan mengambil kutipan pelajaran dari Al-Quran:
Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. An-nisa :58)
dan Al-Hadist:
“Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran”. Sahabat bertanya: “Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?” Rasul menjawab: “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhari).

Sebagai tambahan dari film dokumenter yang saya kutip sebelumnya. Ternyata Socrates, sang bapak pencarian kebenaran orang-orang barat, harus menenggak racun hukuman mati yang diputuskan oleh pengadilan dari pemerintahan yang berasaskan demokrasi … Menarik..

Salam,
Meditya Wasesa

No comments:

Post a Comment