Thursday, October 8, 2015

Mengenal Konsep Daya Saing Bangsa versi Porter



Pendahuluan

Agenda peningkatan daya saing bangsa, adalah sebuah topik pembangunan yang sering didengungkan pemerintah.  Ramainya penggunaan terminologi ini dalam berbagai diskusi konteks kenegaraan, menunjukan animo tinggi berbagai elemen bangsa pada isu daya saing bangsa ini.  Popularitas terminology “daya saing” kiranya tidak bisa dilepaskan dari peran organisasi the World Economic Forum (WEF) yang dengan rutin mempublikasikan dokumen “The Global Competitiveness Report (GCR)” yang melakukan perbandingan peringkat daya saing/ competitiveness negara-negara di dunia.  Berdasarkan publikasi terakhir (The Global Competitiveness Report 2015-2016 red.) Indonesia menempati peringkat ke-37 dari total 144 negara).  Pada tulisan singkat ini akan dibahas konsep daya saing berdasarkan lensa teoretis yang disarikan dari salah satu konsepsi akademis yang menjadi cikal bakal teroperasionalisasinya evaluasi daya saing global yang diselenggarakan oleh WEF.

Pengembangan publikasi pengukuran daya saing yang diselenggarakan oleh WEF, kiranya tidak bisa dilepaskan dari jasa tokoh Michael E Porter, seorang akademisi strategi bisnis ternama yang sekaligus menjadi pendiri dan Institute for Strategy and Competitiveness, Universitas Harvard Amerika Serikat.  Melalui bukunya yang berjudul “The Competitive Advantage of Nations” (1990) (Porter, 1990), Porter melakukan kajian mendalam terkait dengan konsepsi daya saing bangsa.  Konsepsi daya saing bangsa ia terjemahkan sebagai kemampuan untuk melakukan memaksimalkan pemberdayaan berbagai potensi dimilikinya (sumber daya manusia, keuangan, alam, dst) dalam rangka meraih tingkat produktivitas yang setinggi-tingginya.  Menurutnya tingkat produktivitas-lah yang sejatinya memegang peranan penting dalam meningkatkan standar kehidupan masyarakat. 

Yang perlu diperhatikan dari konsepsi Porter ini adalah kerangka berfikir yang digunakan dalam mendefinisikan konsepsi daya saing negara tersebut. Menurutnya, institusi usahalah yang sejatinya berperan penting dalam proses pembangunan kesejahteraan.  Oleh karenanya negara-negara didunia berada dalam suatu kompetisi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang sekondusif mungkin bagi kalangan usaha di dunia.  Sejalan dengan pemahaman tadi, maka pembangunan ekonomi ia definisikan sebagai proses perbaikan berkelanjutan dimana keberhasilannya akan ditentukan oleh kemampuan negara untuk menciptakan lingkungan bisnis yang semakin baik guna terciptanya ekosistem usaha yang semakin kompetitif yang akan menstimulasi kemajuan unit-unit usaha yang beroperasi di ekosistem usaha yang dinaungi negara tsb.


Model Belah Ketupat Daya Saing ala Porter

Melalui proposisi model “belah ketupat”, Porter menegaskan bahwa lingkungan bisnis yang kompetitif adalah resultan proses interaksi dari empat faktor yang menjadi elemen pembangun kawasan usaha terkait.  Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1, keempat faktor tersebut dijabarkan sebagai berikut: (1) faktor inheren dari lokasi bisnis terkait, (2) kekuatan dan konektivitas jaringan unit-unit usaha yang beroperasi di lokasi bisnis terkait, (3) kondisi dan norma pasar yang berlaku, dan (4) kondisi lingkungan bisnis terkait yang akan menentukan level kompetisi dan ruang gerak alternatif strategi bisnis yang dapat diambil dunia usaha.  Mendiskusikan faktor pertama (1), faktor inheren melingkupi berbagai hal penting terkait dengan kualitas sumber daya manusia, ketersediaan dan aksesibilitas pemodalan yang dapat digunakan, kondisi infrastruktur fisik, infrastruktur telekomunikasi dan informasi, infrastruktur riset dan teknologi, dan soliditas proses administrasif yang dapat diukur melalui kemudahan dan transparasi penyelesaian urusan kepemerintahan (perizinan, pajak, dll).  Pada faktor kedua (2), ekosistem bisnis yang baik perlu dibangun agar dapat menjadi tempat beroperasi, berkompetisi, dan berkolaborasinya jaringan unit-unit usaha yang saling melengkapi sehingga terciptalah suatu bangunan ekonomi kawasan yang didukung interaksi usaha yang efektif dan efisien diantara uni-unit usaha dalam lokasi bisnis ybs.  

Pada faktor ketiga (3), kondisi dan norma pasar yang menjadi standard barang/jasa yang layak dikonsumsi konsumen akan mempengaruhi tingginya standard manufaktur/ penciptaan nilai (value-creation) yang harus diikuti oleh unit-unit usaha yang berada pada negara tersebut.  Faktor ketiga ini meliputi berbagai aspek seperti standard kualitas produk, standard keselamatan dan keramahan lingkungan yang harus dipenuhi dalam berproduksi, hukum perlindungan konsumen, dll.  Tingginya tatanan norma pasar yang dianut konsumen dalam pasar akan menentukan tingginya standard operasi produksi dari kawasan industri yang akan memasok barang/jasa untuk pasar ybs.  Faktor keempat (4) dibentuk oleh berbagai peraturan dan insentif yang membentuk konteks lingkungan kehidupan berusaha (misal: upah minimum regional, insentif penanaman modal, kemudahan perizinan, hukum persaingan usaha, perlindungan hak cipta, dll.) yang akan mempengaruhi tingkat kompetisi dan ruang gerak alternatif strategi bisnis yang dapat diaplikasikan perusahaan-perusahaan yang berada di negara tersebut.


Gambar 1. Model Belah Ketupat Daya Saing ala Porter (diadaptasi dari www.isc.hbs.edu)


Bangunan Pembentuk Daya Saing ala Porter

Untuk dapat melakukan pembangunan dan perbaikan daya saing secara sistematis, perlu dipahami kerangka untuk menganalisa bangunan daya saing itu sendiri.  Elemen-elemen pembangunnya perlu dipahami dengan baik, sehingga dapat didefinisikan arah dari proses pembangunan lingkungan perekonomian yang dapat menstimulasi inovasi, efisiensi dan kesejahteraan yang didasarkan atas pemahaman daya saing yang menyeluruh. 

Sebagaimana direpresentasikan pada gambar 2, bangunan daya saing dibangun atas tiga tingkatan.  Pada tingkat dasar, pembangunan daya saing bangsa harus berfondasikan pada faktor inheren yang menjadi kekuatan dan karakteristik khas dari suatu lokasi.  Baik potensi sumber daya alam, lokasi geografis, besar populasi, kondisi budaya, dan lainnya adalah warisan inheren awal yang perlu diberdayakan keunggulannya.  Meski begitu, perlu dipahami bahwa kesejahteraan sejati suatu bangsa tidak bisa  hanya bergantung pada warisan inheren yang terdapat pada negara itu, kesejahteraan sejati sangatlah bergantung pada produktifitas suatu bangsa dalam mengolah potensi yang ada secara maksimal.


Gambar 2. Bangunan Pembentuk Daya Saing ala Porter (diadaptasi dari www.isc.hbs.edu)

Tingkatan daya saing kedua dibangun oleh elemen dari daya saing makroekonomi.  Pembangunan sumber daya manusia dan kerangka kelembagaan politik dan kepemerintahan adalah pilar pertama yang menopang daya saing makroekonomi.  Pilar pembangunan sumber daya manusia ini terdiri dari tiga elemen yaitu (1) elemen pembangunan manusia (pendidikan dasar, kesehatan, persamaan kesempatan, dll.), (2) elemen kepastian hukum (hukum perlindungan hak cipta, hak asasi, dan persamaan di hadapan hukum, dll.), dan (3) elemen kelembagaan politik (kestabilan politik, transparansi kebijakan public, dll.)  Pilar kedua dari daya saing makroekonomi ditopang oleh soliditas kebijakan fiskal dan moneter.  Pilar ini melingkupi elemen kebijakan fiskal yang berperan pada efektifitas penyelarasan pendapatan dan pengeluaran negara, dan baiknya kebijakan moneter yang ditandai dengan rendahnya tingkat inflasi, dan tingkat kestabilan ekonomi.

Daya saing mikroekonomi ditempatkan Porter pada sebagai atap (menempati tingkatan puncak) dari bangunan daya saing bangsa secara keseluruhan.  Daya saing mikroekonomi ini ditopang oleh tiga pilar penting: (1) pilar kualitas lingkungan bisnis (2) pilar kondisi bangunan kawasan ekonomi (industri), dan (3) pilar tingkat kompleksitas operasi dan strategi dari unit-unit usaha yang berpartisipasi dalam ekosistem usaha suatu negara.  Pilar kualitas lingkungan bisnis ditentukan oleh atmosfer produktivitas, inovasi, dan pertumbuhan unit-unit usaha.  Kuatnya pilar kondisi bangunan kawasan ekonomi ditentukan oleh kualitas interaksi antar komponen pembentuk lingkungan bisnis ybs (lihat kembali model “Belah Ketupat”/ Gambar 1).  Keberadaan kawasan ekonomi yang mengkonsentrasikan beragam unit usaha dengan arah industri yang sejalan sangatlah penting bagi proses stimulasi transformasi bisnis dan peningkatan produktivitas kawasan tersebut.  Pada pilar terakhir, tentunya kemampuan unit-unit usaha dari segi keahlian, kapasitas produksi, dan manajemen yang baik, menjadi modal fundamental bagi terbentuknya daya saing mikro ekonomi secara keseluruhan.  Tanpa didukung oleh keberadaan unit-unit usaha yang kompetitif dan memiliki kompleksitas operasi dan strategi yang tinggi, maka kemungkinan terbinanya tingkat daya saing mikroekonomi yang kuat baik pada level unit usaha maupun pada level agregat akan menjadi kecil.


Penutup

Konsep daya saing bangsa yang dibahas disini (versi Michael E Porter), bukanlah satu-satunya konsep daya saing yang popular.  Sementara konsep Porter banyak mengadopsi sudut pandang daya saing dari kacamata investor dan kaum pengusaha, terdapat pula sistem daya saing lain yang lebih memberi penekanan pada sudut pandang lain, seperti penekanan pada aspek pembangunan negara yang penciptaan nilai yang berkelanjutan (Bris & Caballero, 2014), penekanan pada pengembangan kompetensi dan ilmu pengetahuan suatu negara, dll (Barney, 1991; Huseini, 1999).   Oleh karenanya, meskipun konsepsi Porter mengandung banyak perspektif berguna bagi pendefinisian dan prioritisasi arah pembangunan, pengadopsian dan pengembangan konsep daya saing bangsa hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan nilai luhur yang dijunjung tinggi negara ybs.  Begitu pula dengan Indonesia, perlu disintesis, dikembangkan, dieksekusi, dan dievaluasi metrik daya saing yang relevan dengan kondisi dan penekanan nilai bangsa kita (Pancasila, dan UUD ’45) namun juga relevan bagi peningkatan daya-tarik negara pada strata perekonomian global.


Referensi

Barney, J. (1991). Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management, 17(1), 99–120.
Bris, A., & Caballero, J. (2014). Revisiting the Fundamentals of Competitiveness: a Proposal. IMD World Competitiveness Yearbook, 1(1), 492–503.
Huseini, M. (1999). Mencermati Misteri Globalisasi: Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource-Based. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. Harvard Business Review, 68, 73–93.

No comments:

Post a Comment