Sunday, January 12, 2014

"Gus Ja'far" - Cerpen (Panjang) Gus Mus

karya: KH Mustofa Bisri (Gus Mus)



Diantara putera-putera Kyai Saleh, pengasuh pesantren "Sabilul Muttaqien" dan sesepuh di daerah kami, Gus Ja’far-lah yang paling menarik perhatian masyarakat.  Mungkin Gus Ja’far tidak sealim dan sepandai saudara saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah.  Malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kyai Saleh.  Kata Kang Solihin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kyai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.  "Kata kyai, Gus Ja’far itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang Solihin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kyai Saleh itu.  “Saya sendiri tak paham, apa maksudnya, kok anaknya (dibilang) lebih tua dari beliau itu.”

"Tapi, Gus Ja’far memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian Shubuh Kyai Saleh.  "Matanya itu lho.  Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi.  Kalian ingat nggak, Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu.  Sebelum dilamar orang seberang, kan ketemu Gus Ja’far.  Waktu itu Gus Ja’far bilang,  'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?!'.  Tak lama kemudian orang seberang itu datang melamar Sumini."

"Kang Kandar-kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet, "Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Ja’far bilang kepada tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?!'  Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal."  "Ya, waktu itu saya pikir Gus Ja’far hanya berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara, "waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Ja’far bilang kepada saya, 'Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!'  Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps-kempesnya.  Dan percaya atau tidak, esok harinya, saya memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi."  "Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf ya?"  tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil, "makanya saya justru takut ketemu Gus Ja’far.  Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu."***



Maka ketika kemudian sikap Gus Ja’far berubah, masyarakat pun geger;  terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solihin, yang selama ini merasa dekat dengan beliau.  Mula-mula Gus Ja’far menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa.  Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda.  Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan.  Ringkas kata dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan, "wah, sayang sekali!  Apa gerangan yang terjadi pada beliau ya?"  "Kemana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun, "kalau saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah."  "Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling tidak kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Ja’far tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu.  Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah dan ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabis wiridan shalat Isya, dimana Gus Ja’far prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya.  Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Ja’far, jauh melebihi yang sudah-sudah.  Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was, dan takut dibaca tanda-tandanya.

Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan, "Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus.  Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan."  "Perubahan apa?" tanya Gus Ja’far sambil tersenyum penuh arti, "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja.  Saya kok merasa tidak berubah."  "Dulu sampeyankan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Ja’far seperti benar-benar baru tahu.  Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya.  Diam agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan: "Ceritanya panjang."  Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat nggak, ketika saya lama menghilang?" akhirnya Gus Ja’far bertanya, membuat kami yakin dia benar-benar siap untuk bercerita.  Maka serempak kami mengangguk.  "Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km ke arah selatan.  Namanya Kyai Tawakkal.  Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kyai-kyai tertentu yang tahu tentang kyai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kyai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkal itu.  Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau.  Ternyata ketika sampai disana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kyai Tawakkal.  Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk, 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu.  Nah kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana.  Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan.  Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kyai siapa tadi?' 'Kyai Tawakkal.' 'Ya, kyai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.'

Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu.  Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kyai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua.  Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka.  Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kyai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua.  Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri.  Kedua matanya indah memancarkan kearifan.  Bicaranya jelas dan teratur.  Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Ja’far berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi 'Ahli neraka'.  Astaghfirullah!
Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang.  Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat.  Pasti saya keliru.  Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kyai yang lain, disurat sebagai ahli neraka.  Tak mungkin.  Saya mencoba meyakin- yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa.  Tanda itu terus melekat di kening beliau.  Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu.  Gila!"

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini.  Beberapa hari saya amati perilaku Kyai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan.  Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kyai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya.  Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali mengisi pengajian umum.  Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kyai Tawakkal sejak muda.  Semacam lelana brata kata mereka."



"Baru setelah beberapa minggu tinggal di pesantren, saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kyai Tawakkal keluar.  Saya pikir inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.  "Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kyai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya.  Dengan hati-hati, saya pun membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, kyai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap.  Akan kemana beliau gerangan?  Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba kyai menoleh ke belakang."

 "Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi.  Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung.  Terdengar gelak tawa ramai sekali.  Dengan bengong, saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu.  Dua orang wanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua dengan dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit kesana-kemari.  Tidak mungkin kyai mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.

'Mas Ja’far!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya.  Masya Allah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya.  Memang betul, mata saya melihat Kyai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung.  Ah.  Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kyai saya yang duduk santai di pojok.  Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti.  Kyai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit'.  Lalu, kepada orang- orang yang ada di warung, kyai memperkenalkan saya.  Katanya: 'Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh.  Cari pengalaman katanya.'  Mereka yang duduknya dekat, serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh, melambaikan tangan."

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kyai menawari, 'Minum kopi ya?'  Saya mengangguk asal mengangguk.  'Kopi satu lagi, yu!' kata kyai kemudian kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya.  'Silakan!  Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggaan warung ini!'  Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk."  "Kyai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'nya dan membiarkan saya bengong sendiri.  Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kyai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kyai lain, bisa berada di sini.  Akrab dengan orang- orang beginian; bercanda dengan wanita warung.  Ah, inikah yang disebut lelana brata?  Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya?  Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini.  O, pantas di keningnya kulihat tanda itu.  Tiba-tiba sikap pandangan saya terhadap beliau berubah.

'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara Kyai Tawakkal membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, yuk!'  Dan tanpa menunggu jawaban saya, kyai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar.  Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebun sengon, Kyai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui, 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!' katanya."  "Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai.  Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan.  Kyai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja.  Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung.  Beliau melambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar.  Sampai di seberang, ternyata Kyai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu.  'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian, 'kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.'  Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kyai berkata mengejutkan, 'Bagaimana?  Kau sudah menemukan apa yang kau cari?  Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya?  Mengapa kau seperti masih terkejut?  Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?'  Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu.  Saya tidak bisa berkata apa-apa.  



Beliau yang kemudian terus berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya.  Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka.  Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan surga, aku adalah milik Allah.  Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke surga atau ke neraka.  Untuk memasukkan hambaNya ke surga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan.  Sebagai kyai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke surga kelak?  Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk neraka?  Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita dari-Nya.  Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya.  Bukankah begitu?'  

Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kyai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya, 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah.  Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.  Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah.  Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap- sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri.  Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat.  Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.'  Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.  'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kyai bangkit, 'Sebentar lagi subuh.  Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.'  Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kyai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan.  Kyai Tawakkal sudah tak tampak lagi.  Dengan bingung saya terus berjalan.  Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu kami.  Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kyai Tawakkal.  Tapi, jangankan Kyai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada.  Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal.  Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan Ja’far?' tanyanya.  Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri.  'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau dimana?' tanya saya buru-buru.  'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah Jogo datang dan pergi semaunya.  Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan kemana beliau pergi.'  Begitulah ceritanya... dan Kyai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil merubah sikap saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Ja’far sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi mendengarkan, masih diam tercenung, sampai Gus Ja’far kembali menawarkan suguhannya, "monggo-monggo didahar".

***

Pengutip tidak memiliki karya diatas.  Cerpen ini dikutip dan di-edit dari mailing-list Muslim-KL dan dicek ulang keselarasan tulisannya dengan ceramah Gus Mus dalam acara peringatan tahun baru islam 1428 H di Pekalongan yang bisa disimak ulang melalui URL ini.

No comments:

Post a Comment