Saturday, November 26, 2011

Rumah Kaca, Tetralogi Buru, dan Perjuangan Berkelanjutan.


Akhirnya.. selesai juga saya baca rangkaian Tetralogi Pula Buru karya "Mbah" Pram ini. Berbeda  dengan tiga roman sebelumnya ("Bumi Manusia", "Jejak Langkah", dan "Anak Semua Bangsa") yang menampilkan Raden Mas Minke sebagai tokoh utama, "Rumah Kaca" menceritakan kehidupan Pangemanann seorang intel khusus kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan untuk mengontrol pergerakan-pergerakan  yang berpotensi makar. Sebagai pejabat tinggi yang bertanggung jawab langsung pada gubernur jenderal hindia dan memiliki akses kepada dokumen-dokumen rahasia, Pangemanann menjadi penasihat utama gubernur, khususnya dalam menentukan apakah suatu pergerakan dianggap membahayakan bagi ajegnya kekuasaan kolonialisme. Melalui referensi balik layar Pangemanannlah akhirnya beberapa organisasi pergerakan di netralisir dengan dibuang atau dilemahkan, baik dari dalam maupun luar. Raden Mas Minke dan tokoh-tokoh dari Indische Partij adalah beberapa yang dibuang akibat dari referensi Pangemanann.

RM Tirtho Adhi Soerjo

"Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah", pesan proklamator kita Soekarno. Tetralogi Pulau Buru yang mengambil pergerakan Indonesia pada awal abad 20 sebagai latar belakangnya ini menyadarkan saya akan peran para perintis dalam penggapaian mahkota kemerdekaan. Dengan mengisahkan kehidupan RM Minke yang merupakan personifikasi dari tokoh pergerakan pers indonesia pertama Tirtho Adhi Suerjo. Tetralogi ini telah mengangkat kisah-kisah awal pergerakan intelektualitas republik ini yang dirintis oleh tokoh intelektual pribumi yang bersekolah kedokteran di STOVIA. Kisah mengenai kampanye-kampanye pentingnya berorganisasi yang dirintis dr. Wahidin Soedirohoesodo, pembentukan Sarikat Dagang Islam rintisan Minke (Tirtho Adhi Suerjo) dan Thamrin Mohammad Thabrie (H. Samanhudi) sebagai kekuatan dagang penyeimbang terhadap dominasi dagang tionghoa pada kala itu, pembentukan Medan Prijaji sebagai pers yang menyuarakan ketidakadilan yang diterima masyarakat oleh kolonialisme, pergerakan pendidikan Boedi Muljo (Boedi Oetomo) yang diprakarsai dr. Soetomo, pahlawan wanita dari Jepara (RA Kartini) dan sekolah keutamaan istri  Dewi Sartika yang dikagumi Minke, pergerakan Sarikat Islam masa Mas Tjokro (Hadji Oemar Said Tjokroaminoto), hingga  diawalinya pengakuan hak politik pribumi, melalui masuknya wakil dari Boedi Oetomo dan Sarikat Islam dalam dewan perwakilan rakyat hindia belanda (Volksraad), merupakan kisah-kisah sejarah yang urgensinya disuguhkan dengan cara yang unik oleh tulisan Pram.

Setelah membaca tetralogi ini, saya mendapat kesadaran akan pentingnya pengaruh dr. Wahidin, RM Soerjo, H. Samanhudi, Soetomo, Kartini, Dewi Sartika, dan HOS Tjokroaminoto pada kehidupan pergerakan selanjutnya, termasuk proklamator kita yang pernah "nge-kost" pada beliau (HOS Tjokroaminoto). Dalam perjalan pergerakan selanjutnya, HOS Tjokroaminoto adalah kepala dari institusi pergerakan yang terbesar pada zamannya, dan pengamatan akan pergerakan dan pengalaman HOS Tjokro secara alami telah menjadi bahan pembelajaran bagi para anak "kostnya", termasuk Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo.

Secara subjektif, pelajaran yang bisa saya ambil adalah: tidak semua pejuang menikmati manisnya kesuksesan, namun perjuangan satu dan perjuangan lainnya adalah mata rantai berkelanjutan yang (apabila didasari kebenaran) akan mencapai masanya juga. Seperti Minke yang akhirnya mati dan dilupakan massa, Medan Prijaji dan Syarikat Islam telah menginspirasi dan menjadi titik tolak bagi perjuangan perjuangan selanjutnya. Permasalahannya bukanlah pada keberhasilan dalam perjuangan, (karena hal itu Tuhan yang akan menentukan) tetapi pada keterlibatan kita pada mata rantai kesadaran dan perjuangan, ataukah kita memilih terlena pada lembamnya apatisme. Semoga Tuhan berkenan untuk membimbing kita pada jalan yang benar. Amin.

Sebagai penutup saya kutip sebuah dokumenter mengenai penggalan kehidupan RM Tirtho Adhi Soerjo:






No comments:

Post a Comment