Assalamualaikum Wr. Wb.
Sebagai lulusan dari SMA “gaul” di sebuah kota besar di Indonesia, berhasil masuk di salah satu institusi pendidikan tinggi terbaik bangsa (yang kadang dikenal juga sebagai institusi yang paling arogan di bangsa ini hehehe :p) adalah karunia dan kebanggaan tersendiri. Terlebih ketika saya bersekolah, hanya dikenal sistem ujian masuk bernama UMPTN, dimana prestasi akademik sportiflah yang menjadi visa masuknya. Walhasil, dalam periode perkuliahan ini, saya berkesempatan untuk mengenal orang-orang yang sering euphoria-kan sebagai putra-putri terbaik bangsa.
Alhamdulillah, selama saya berada di sana, saya merasa sangat bahagia. Mungkin ini adalah salah satu periode terbaik dalam hidup saya. Dimana orang benar-benar dihargai dari kepandaiannya, bukan dari kemasannya. Seringkali orang-orang yang super pandai itu, adalah kawan kita si “kucel”, dengan kemeja yang jarang diganti, dengan bekal pas-pasan dari orang tuanya di kampung. Sering kali hati saya tersentuh menemui beberapa diantara mereka karena harus mengganti warung tegal langganan makan siangnya, karena mereka harus menghemat beberapa ratus rupiah untuk menyambung hidup dalam menjemput mimpinya meraih kehidupan lebih baik. Di institusi ini, para mahasiswa yang kebetulan memiliki orang tua berada akan menahan elisitasi keberadaan kemakmurannya, karena mereka tau mereka berhadapan dengan teman-teman dari seluruh penjuru nusantara nan sederhana yang kemampuannya jauh lebih superior dari mereka. Beberapa teman ada yang harus membantu orang tua mereka bertani di kampungnya dulu di kala SMA sembari belajar untuk menjebolkan UMPTN. Berbeda dengan banyak anak kota yang membutuhkan karbitan bimbingan-bimbingan belajar berbiaya juta-juta untuk dapat menembus UMPTN, yang berkesempatan untuk melakukan aktifitas-aktifitas menyenangkan yang seharusnya dimiliki juga oleh setiap putra bangsa pada masa luangnya, seperti bermain bola, bermusik, atau lainnya.
Di sekolah ini anda dapat meraih respek bila anda memang membuktikan diri sebagai yang terpandai, mendandani kemasan diri bersifat materiil hanya akan membuat anda menjadi risi sendiri. Tentunya hal ini jauh dari kebiasaan di SMA saya dulu, dimana kode berpakaian adalah suatu standard keharusan yang menghindarkan diri dari “dosa” pergaulan. Di sini, begitu banyak teman-teman disekiling saya yang jauh lebih pintar, namun sangat rendah hati. Pengalaman-pengalaman seperti ini yang saya pikir membuat banyak lulusan institusi ini menjadi super arogan, mengingat, ternyata keadaan di luar sana begitu berbeda. Dimana banyak orang berusaha untuk terlihat pandai, walaupun mungkin sebenarnya kualitasnya jauh dari apa yang ditunjukan melalui kemasannya.
Sayup-sayup, sejak lama, terdengar berita bahwa banyak perguruan-perguruan negeri tinggi terbaik bangsa terpaksa mengalokasikan kursinya bagi mahasiswa-mahasiswa yang diharapkan bisa menjadi pundi-pundi keberlangsungan operasionalnya. Kabarnya tingkat kesulitan ujian untuk mahasiswa dari jalur ini pun jauh lebih sulit dari jalur biasa. Tak ada yang salah memang, semua institusi berhak untuk tetap berkelangsungan. Namun ketika kesempatan kawan-kawan “laskar pelangi” itu menjadi terkorbankan disitulah letak ketidak-adilan dimulai. Calon mahasiswa dari jalur khusus memiliki dua kali kesempatan dalam memasuki perguruan tinggi negeri, jalur khusus dan jalur biasa. Sedangkan kawan-kawan “laskar-pelangi”, hanya memiliki sekali kesempatan.
Satu titik masalah lain adalah jatah kursi bagi laskar pelangi yang semakin menyusut. Hal ini mengantarkan titik balik bagi kesan perguruan-perguruan tinggi negeri. Perguruan tinggi negeri berubah kesan dari institusi tambatan putra-putri terbaik bangsa menjadi institusi putra-putri “berduit” terbaik bangsa. Satu hal yang perlu dicatat disini adalah kemungkinan besar putra-putri “tidak berduit” terbaik bangsa memiliki kualitas yang tidak kalah, atau bahkan jauh lebih superior, dari putra-putri “berduit” terbaik bangsa. Seperti pada pengalaman yang saya hisap aroma kesegarannya setiap hari selama 5 tahun.
Lulus dengan IPK pas-pasan dari ITB, pada akhirnya saya pun memanfaatkan ketidak adilan dunia ini. Sementara banyak teman saya harus bersegera diri mengkonkritkan diri mencari pekerjaan untuk segera bekontribusi pada keluarganya, dengan memanfaatkan keadaan orang tua saya yang berkecukupan, saya dapat dibiayai sekolah di Jerman untuk tahun pertama. Meskipun setelah itu saya dapat mandiri secara finansial dan alhamdulillah sekarang bekerja sebagai mahasiswa beasiswa s3 di sebuah universitas yang cukup ternama. Walaupun begitu, mata saya selalu berbinar terharu dan merasa rendah diri bila mengingat teman-teman “laskar pelangi” maha pandai semasa kuliah di S1 dulu. Ketika kesombongan akan rahmat Tuhan ini mulai membersit, bila mengingat mereka, saya sadar betul bahwa saya tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Saya hanya memiliki kesempatan yang lebih baik, kebetulan keluarga saya tidak terhimpit masalah ekonomi, sehingga saya dapat melenggang-kangkung memilih jalur hidup yang saya suka (dengan izin dan kemurahan Allah swt. tentunya).
Harapan saya, selamatkan perguruan-perguruan tinggi negeri terbaik bangsa hanya untuk mahasiswa-mahasiswa terbaik bangsa, terlepas bagi yang berada maupun yang tidak. Karena sungguhpun bagi yang tidak berduit, hanya “Negeri”-lah (setelah Tuhan tentunya) satu-satunya tambatan harapan mereka. Jangan ambil hak mereka untuk mendapatkan apa yang mereka memang berhak. Biarkan kata-kata “putra-putri terbaik bangsa” tetap menjadi “putra-putri terbaik bangsa” tanpa memandang bulu kata “berduit”-nya.
Terus terang apa yang membuat saya bangga menjadi alumnus ITB adalah pengalaman jiwa saya untuk merasa rendah serendah-rendahnya mengapresiasi diri berkenalan dengan terhadap putra-putra terbaik “laskar pelangi” yang rendah hati namun jauh lebih superior kepandaiannya. Sungguh jengah hati ini melihat almamater saya bermetamorfosis menjadi institusi elitis. Sungguh bila perguruan-perguran tinggi terbaik melakukan filtrasi bakat putra-putri terbaik bangsa ini dengan ukuran materi sebagai salah satu kriterianya, maka ketidak adilan akan memakan akibatnya cepat atau lambat, seperti yang dirasakan saat ini. Maaf bila harus menjadi sedikit politis, menurut pandangan pribadi, keadaan pendidikan Indonesia ketika anggaran pendidikan belum mencapai 20% seperti saat ini, dirasakan jauh lebih adil dibanding kesenjangan pendidikan yang dirasakan saat ini. Justru pada saat anggaran pendidikan untuk APBN 2010 mencapai putaran 200 trilyun rupiah.
Maaf bila sekalilagi harus mengeluarkan pendapat berbau politis yang naif, namun digilasan roda perputaran bangsa yang semakin liberalis, dimana si papa semakin tersisih, tersayat hati ini mengingat saya pernah bersekolah dengan bibit-bibit superior bangsa yang kini keadilan berkompetisinya terenggut sistem seleksi dengan materi sebagai salah satu kriterianya. Semoga bangsa ini tidak melupakan identitasnya, dasar negaranya. Dimana kebebasan dapat diaplikasikan, dengan mendahuluan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Bukan sebaliknya, mendahulukan kebebasan dan memberangus nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.
Tulisan ini tentu ditujukan untuk seluruh perguruan-perguruan tinggi negeri di nusantara, dan kasus ITB saya ambil karena kebetulan saya pernah berkesempatan berkuliah disana. Segala kebenaran hanya datang dari Tuhan Semesta Alam, dan segala kesalahan berasal dari kelengahan penulis sendiri. Wallahu’alam bishawab.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Meditya Wasesa
Alumni "pas-pasan" Teknik Mesin ITB 2000
cocok buat "about me" blog seorang GMS
ReplyDeletewah... asiiik sekolah di eropa. Gimana caranya mas, saya cuma s1 itb, umur udah 35 taon beloom s2.
ReplyDelete....mengingat dari SD, SMP, SMA, kuliah di biayai pakai pajak rakyat jadi sekarang mengabdi jadi pns aja. Bisa kuliah di management erasmus gaa... :) (serius)
nice story fren Medit...seandainya hal itu terjadi 30 tahun yang lalu, mungkin bokap gw n adik2nya tetap akan jadi petani di kampung..
ReplyDeleteYell Boyzzzz...
Pinem-13100089
Tulisan yang sangat bagus.
ReplyDeletewah tulisannya bagus banget pak, jadi trenyuh nih
ReplyDeletefahmi mubarok
NTNU-Trondheim, Norway
(MT ITB1997)
menarik tulisannya bang..
ReplyDeleteTulisan yang bagus Med, salam kenal sebelumnya Saya DJ Alumni jurusan Teknik Dan ilmu Batu.
ReplyDeleteCerita pernah saya alami juga.
51 90 002
tulisan yang semakin membuka mata betapa porak porandanya pendidikan kita... semakin lama semakin miris melihat dunia pendidikan negeri tercinta, mulai dari jenjang playgroup sampai pendidikan tinggi :(
ReplyDeletebackground nya yang gelap dan totol2 bikin bayangan pandangan saya belang2 nih, plis ganti pake background terang dengan tulisan gelap (hitam di atas putih) hehe
ReplyDeleteSepaham, kalau dipertahankan seperti ini akan berakibat buruk dalam jangka panjang. Gak heran kenapa ITB ga maju-maju, dan menjadi semakin kerdil secara institusional. Kalau dinilai individualnya memang lain cerita.
ReplyDeleteSalam
Trim's atas tulisannya.
ReplyDeleteJadi rindu ITB ku yang dulu.....
Salam Kenal, Rachman (7285088)
Tulisan yang sangat bagus,,,apa yang anda rasakan,fikirkan, dan khawatirkan ttg almamater kita tercintan(ITB)saat ini,,,sm dengan apa yang saya rasakan,,,
ReplyDeleteHanya satu kata u kondisi almamater (PRIHATIN),,,
salam kenal (lia 15305078)
Tulisan sangat mengesankan, anakku yang baru masuk pt memang tidak lagi lewat jalur mati/hidup umptn (+tambahan dikit utk nyumbang kelangsungan hidup ptn)... semoga nasibnya bisa seperti anda yang bukan berasal dari golongan laskar pelangi seperti saya dulu ... selamat
ReplyDeleteUdi 6282013
Kalau dulu cari IP di atas 2.5 saja mati-matian dan hanya segelintir orang yang bisa di atas 3.
ReplyDeleteAkan tetapi, dulu, kualitas yang IP dibawah 3 sangat berbeda kalau dibandingkan dengan para para lulusan sekarang yang dengan gampangnya dapat IP di atas 3 (Heran sekarang satu angkatan bisa borongan dapat IP di atas 3.5 sampai 30% lagi. Gizinya mungkin beda kali ye ....).
Anyway ... sekarang sebagai alumni dan sekaligus pengguna lulusan baru sangat prihatin dengan IP yang di atas 3 tapi kemampuan berpikirnya sangat kurang dibandingkan dengan kemampuan menghapalnya ... text book oriented .. no hardwire to solve problem and connecting the dot (jadi banyak lulusan ITB sekarang yang IPNYA di atas 3 hasilnya 11-12 lah dengan lulusan non ITB).
Saya sudah komplain ke kampus mengenai hal ini ... perlu sih memang untuk lolos screening pertama (yang mana HR cuma lihat IP di atas 3) ... tapi kualitasnya kebanyakan tidak sepadan ... paling hanya 1-2 yang benar-benar entitled dengan title cum laude.
Pertanyaan berikutnya, apa kita sebagai alumni yang sudah punya posisi bisa mendobrak sistem screening yang hanya mengandalkan IP di atas 3?
oi yang nulis diatas ini ip nya dulu berapa emang? JANGAN SIRIK DONGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGGG
ReplyDeletegw baru lulus nih, tp setelah liat2 foto angkatan dulu, terbukti angkatan dulu ipnya kecil kebanyakan maennya..yg sekarang lebih oke dong..
Edo