Akhirnya.. selesai juga saya baca rangkaian
Tetralogi Pula Buru karya "Mbah" Pram ini. Berbeda
dengan tiga roman sebelumnya ("Bumi Manusia", "Jejak
Langkah", dan "Anak Semua Bangsa") yang menampilkan Raden Mas
Minke sebagai tokoh utama, "Rumah Kaca" menceritakan kehidupan
Pangemanann seorang intel khusus kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan untuk
mengontrol pergerakan-pergerakan yang berpotensi makar. Sebagai pejabat
tinggi yang bertanggung jawab langsung pada gubernur jenderal hindia dan
memiliki akses kepada dokumen-dokumen rahasia, Pangemanann menjadi penasihat
utama gubernur, khususnya dalam menentukan apakah suatu pergerakan dianggap
membahayakan bagi ajegnya kekuasaan kolonialisme. Melalui referensi balik
layar Pangemanannlah akhirnya beberapa organisasi pergerakan di netralisir
dengan dibuang atau dilemahkan, baik dari dalam maupun luar. Raden Mas Minke
dan tokoh-tokoh dari Indische Partij adalah beberapa yang dibuang akibat dari referensi
Pangemanann.
RM Tirtho Adhi Soerjo |
"Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah", pesan proklamator kita
Soekarno. Tetralogi Pulau Buru yang mengambil pergerakan Indonesia pada awal
abad 20 sebagai latar belakangnya ini menyadarkan saya akan peran para perintis
dalam penggapaian mahkota kemerdekaan. Dengan mengisahkan kehidupan RM Minke
yang merupakan personifikasi dari tokoh pergerakan pers indonesia pertama Tirtho Adhi Suerjo.
Tetralogi ini telah mengangkat kisah-kisah awal pergerakan intelektualitas republik
ini yang dirintis oleh tokoh intelektual pribumi yang bersekolah kedokteran
di STOVIA.
Kisah mengenai kampanye-kampanye pentingnya berorganisasi yang dirintis
dr. Wahidin
Soedirohoesodo, pembentukan Sarikat Dagang Islam rintisan Minke (Tirtho Adhi Suerjo) dan
Thamrin Mohammad Thabrie (H.
Samanhudi) sebagai kekuatan dagang penyeimbang terhadap dominasi dagang
tionghoa pada kala itu, pembentukan Medan Prijaji sebagai pers yang
menyuarakan ketidakadilan yang diterima masyarakat oleh kolonialisme, pergerakan
pendidikan Boedi Muljo (Boedi
Oetomo) yang diprakarsai dr.
Soetomo, pahlawan wanita dari Jepara (RA Kartini) dan sekolah
keutamaan istri Dewi
Sartika yang dikagumi Minke, pergerakan Sarikat Islam masa Mas
Tjokro (Hadji
Oemar Said Tjokroaminoto), hingga diawalinya pengakuan hak politik
pribumi, melalui masuknya wakil dari Boedi Oetomo dan Sarikat Islam dalam
dewan perwakilan rakyat hindia belanda (Volksraad), merupakan
kisah-kisah sejarah yang urgensinya disuguhkan dengan cara yang unik oleh
tulisan Pram.
Setelah
membaca tetralogi ini, saya mendapat kesadaran akan pentingnya pengaruh dr. Wahidin,
RM Soerjo, H. Samanhudi, Soetomo, Kartini, Dewi Sartika, dan HOS Tjokroaminoto
pada kehidupan pergerakan selanjutnya, termasuk proklamator kita yang pernah
"nge-kost" pada beliau (HOS Tjokroaminoto). Dalam perjalan pergerakan
selanjutnya, HOS Tjokroaminoto adalah kepala dari institusi pergerakan yang
terbesar pada zamannya, dan pengamatan akan pergerakan dan pengalaman HOS
Tjokro secara alami telah menjadi bahan pembelajaran bagi para anak
"kostnya", termasuk Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo.
Secara
subjektif, pelajaran yang bisa saya ambil adalah: tidak semua pejuang menikmati
manisnya kesuksesan, namun perjuangan satu dan perjuangan lainnya adalah mata
rantai berkelanjutan yang (apabila didasari kebenaran) akan mencapai masanya juga. Seperti Minke yang akhirnya mati dan dilupakan massa, Medan
Prijaji dan Syarikat Islam telah menginspirasi dan menjadi titik tolak bagi
perjuangan perjuangan selanjutnya. Permasalahannya bukanlah pada keberhasilan
dalam perjuangan, (karena hal itu Tuhan yang akan menentukan) tetapi pada
keterlibatan kita pada mata rantai kesadaran dan perjuangan, ataukah kita
memilih terlena pada lembamnya apatisme. Semoga Tuhan berkenan untuk
membimbing kita pada jalan yang benar. Amin.
Sebagai
penutup saya kutip sebuah dokumenter mengenai penggalan kehidupan RM Tirtho
Adhi Soerjo: