Akhirnya, selesai juga saya baca buku kedua dari Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam karya lanjutan dari buku pertama (Bumi Manusia), Pram mengisahkan dilema Minke (tokoh utama dalam roman) dalam menghadapi kenyataan sesungguhnya dunia nyata.
Setelah sempat congkak dengan ketinggian akademiknya, Minke mengalami eksplorasi nyata yang sering kali bertolak belakang dari buku-buku yang sudah ia taklukan dengan nyaris sempurna. Kemiskinan dan manipulasi rakyat oleh penguasa, manipulasi penguasa oleh kerakusan segelintir pihak, juga pengalaman Minke sendiri untuk menjadi korban dari manipulasi seorang bertopeng keeleganan (insinyur sipil juga komandan perang terhormat yang ternyata tak lepas juga dari sikap rakus).
Pelajaran yang bisa dipetik adalah, pendidikan formal adalah suatu hal yang sangat penting, namun yang tak kalah penting tentunya bagaimana mengaplikasikannya untuk membawa manfaat dan perubahan kearah lebih baik bagi sesama. Seorang yang disemati dengan berbagai gelar-gelar nan elegan belum tentu bisa membawa manfaat bagi sesamanya. Terkadang, kita temui beberapa yang memanfaatkan ilmunya tuk menggiring ke arah kehancuran, naudzubillahimindzalik..
Roman vulgar kedua ini sarat dengan kenyataan yang pahit. Isinya jauh lebih berat dari Bumi Manusia. Sebagaimana tulisan Pram sebelumnya, dibutuhkan kematangan prinsip (terutama agama) dalam mencerna dan membedakan hal-hal yang dapat dipetik pelajarannya dengan hal-hal yang bersifat eksplorasi humanis yang tidak sejalan dengan agama. Jelasnya tulisan Pram bukan bacaan anak kecil.
Dari dua buku yang telah diselesaikan (Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa), bagi saya pribadi Pram adalah orang yang tidak malu untuk menelanjangi kebenaran melalui tulisan-tulisannya; mungkin terlalu eksrim, sehingga hal-hal personal dalam kehidupan Minke pun habis diekstrak (yang terkadang terlalu kontroversial untuk diekspos). Keberaniannya dalam menulis membuat tulisan-tulisannya sangat mengasyikkan untuk dibaca. Tak sabar untuk menunggu saatnya untuk mendapatkan 2 roman lanjutan dari Tetralogi Pulau Buru.
Sebagai catatan tambahan, beberapa orang sangat suka untuk mengelompokkan nilai-nilai kebenaran pada dikotomi kelompok tanpa benar-benar mempelajari apa yang mereka dikotomikan, seakan-akan kelompoknya yang paling bagus. Seiring dengan berjalannya umur, pada akhirnya yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Bukti akan terkuak dan bualan akan tenggelam. Insyaallah, Maharaja saya hanyalah Sang Esa, Kitab yang tidak ada keraguan didalamnya hanyalah satu, dan manusia paling sempurna hanyalah Sang Uswatun Hasanah itu sendiri, semoga tetap begitu hingga akhirnya. Amin.
No comments:
Post a Comment