Pendahuluan
Agenda peningkatan daya saing bangsa, adalah sebuah topik
pembangunan yang sering didengungkan pemerintah. Ramainya penggunaan terminologi ini dalam berbagai
diskusi konteks kenegaraan, menunjukan animo tinggi berbagai elemen bangsa pada
isu daya saing bangsa ini. Popularitas terminology
“daya saing” kiranya tidak bisa dilepaskan dari peran organisasi the World Economic Forum (WEF) yang dengan rutin
mempublikasikan dokumen “The Global Competitiveness Report (GCR)” yang
melakukan perbandingan peringkat daya saing/ competitiveness negara-negara di dunia. Berdasarkan publikasi terakhir (The Global
Competitiveness Report 2015-2016 red.) Indonesia menempati peringkat ke-37 dari
total 144 negara). Pada tulisan singkat
ini akan dibahas konsep daya saing berdasarkan lensa teoretis yang disarikan
dari salah satu konsepsi akademis yang menjadi cikal bakal teroperasionalisasinya
evaluasi daya saing global yang diselenggarakan oleh WEF.
Pengembangan publikasi pengukuran
daya saing yang diselenggarakan oleh WEF, kiranya tidak bisa dilepaskan dari
jasa tokoh Michael E
Porter, seorang akademisi
strategi bisnis ternama yang sekaligus menjadi pendiri dan Institute for Strategy and Competitiveness, Universitas Harvard Amerika
Serikat. Melalui bukunya yang berjudul “The Competitive Advantage of Nations” (1990)
(Porter, 1990), Porter melakukan kajian
mendalam terkait dengan konsepsi daya saing bangsa. Konsepsi
daya saing bangsa ia terjemahkan sebagai kemampuan untuk melakukan
memaksimalkan pemberdayaan berbagai potensi dimilikinya (sumber daya manusia,
keuangan, alam, dst) dalam rangka meraih tingkat produktivitas yang
setinggi-tingginya. Menurutnya tingkat
produktivitas-lah yang sejatinya memegang peranan penting dalam meningkatkan standar
kehidupan masyarakat.
Yang perlu
diperhatikan dari konsepsi Porter ini adalah kerangka berfikir yang digunakan
dalam mendefinisikan konsepsi daya saing negara tersebut. Menurutnya, institusi
usahalah yang sejatinya berperan penting dalam proses pembangunan kesejahteraan.
Oleh karenanya negara-negara didunia berada
dalam suatu kompetisi untuk menciptakan lingkungan bisnis yang sekondusif
mungkin bagi kalangan usaha di dunia. Sejalan
dengan pemahaman tadi, maka pembangunan
ekonomi ia definisikan sebagai proses perbaikan berkelanjutan dimana
keberhasilannya akan ditentukan oleh kemampuan negara untuk menciptakan
lingkungan bisnis yang semakin baik guna terciptanya ekosistem usaha yang
semakin kompetitif yang akan menstimulasi kemajuan unit-unit usaha yang
beroperasi di ekosistem usaha yang dinaungi negara tsb.
Model Belah Ketupat Daya Saing ala Porter
Melalui proposisi model “belah
ketupat”, Porter menegaskan bahwa lingkungan bisnis yang kompetitif adalah resultan
proses interaksi dari empat faktor yang menjadi elemen pembangun kawasan usaha terkait.
Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1,
keempat faktor tersebut dijabarkan sebagai berikut: (1) faktor inheren dari
lokasi bisnis terkait, (2) kekuatan dan konektivitas jaringan unit-unit usaha
yang beroperasi di lokasi bisnis terkait, (3) kondisi dan norma pasar yang
berlaku, dan (4) kondisi lingkungan bisnis terkait yang akan menentukan level
kompetisi dan ruang gerak alternatif strategi bisnis yang dapat diambil dunia
usaha. Mendiskusikan faktor pertama (1),
faktor inheren melingkupi berbagai hal penting terkait dengan kualitas sumber
daya manusia, ketersediaan dan aksesibilitas pemodalan yang dapat digunakan, kondisi
infrastruktur fisik, infrastruktur telekomunikasi dan informasi, infrastruktur
riset dan teknologi, dan soliditas proses administrasif yang dapat diukur
melalui kemudahan dan transparasi penyelesaian urusan kepemerintahan
(perizinan, pajak, dll). Pada faktor kedua
(2), ekosistem bisnis yang baik perlu dibangun agar dapat menjadi tempat
beroperasi, berkompetisi, dan berkolaborasinya jaringan unit-unit usaha yang
saling melengkapi sehingga terciptalah suatu bangunan ekonomi kawasan yang didukung
interaksi usaha yang efektif dan efisien diantara uni-unit usaha dalam lokasi
bisnis ybs.
Pada faktor ketiga (3), kondisi
dan norma pasar yang menjadi standard barang/jasa yang layak dikonsumsi konsumen
akan mempengaruhi tingginya standard manufaktur/ penciptaan nilai
(value-creation) yang harus diikuti oleh unit-unit usaha yang berada pada
negara tersebut. Faktor ketiga ini meliputi
berbagai aspek seperti standard kualitas produk, standard keselamatan dan
keramahan lingkungan yang harus dipenuhi dalam berproduksi, hukum perlindungan
konsumen, dll. Tingginya tatanan norma
pasar yang dianut konsumen dalam pasar akan menentukan tingginya standard
operasi produksi dari kawasan industri yang akan memasok barang/jasa untuk
pasar ybs. Faktor keempat (4) dibentuk
oleh berbagai peraturan dan insentif yang membentuk konteks lingkungan
kehidupan berusaha (misal: upah minimum regional, insentif penanaman modal, kemudahan
perizinan, hukum persaingan usaha, perlindungan hak cipta, dll.) yang akan mempengaruhi
tingkat kompetisi dan ruang gerak alternatif strategi bisnis yang dapat diaplikasikan
perusahaan-perusahaan yang berada di negara tersebut.
Gambar 1. Model
Belah Ketupat Daya Saing ala Porter (diadaptasi dari www.isc.hbs.edu)
Bangunan Pembentuk Daya Saing ala Porter
Untuk dapat melakukan pembangunan
dan perbaikan daya saing secara sistematis, perlu dipahami kerangka untuk
menganalisa bangunan daya saing itu sendiri. Elemen-elemen pembangunnya perlu dipahami
dengan baik, sehingga dapat didefinisikan arah dari proses pembangunan
lingkungan perekonomian yang dapat menstimulasi inovasi, efisiensi dan
kesejahteraan yang didasarkan atas pemahaman daya saing yang menyeluruh.
Sebagaimana direpresentasikan pada gambar 2, bangunan daya saing dibangun atas tiga tingkatan. Pada tingkat dasar, pembangunan daya saing
bangsa harus berfondasikan pada faktor inheren yang menjadi kekuatan dan karakteristik
khas dari suatu lokasi. Baik potensi
sumber daya alam, lokasi geografis, besar populasi, kondisi budaya, dan lainnya
adalah warisan inheren awal yang perlu diberdayakan keunggulannya. Meski
begitu, perlu dipahami bahwa kesejahteraan sejati suatu bangsa tidak bisa hanya bergantung pada warisan inheren yang terdapat pada negara itu, kesejahteraan
sejati sangatlah bergantung pada produktifitas suatu bangsa dalam mengolah
potensi yang ada secara maksimal.
Gambar 2. Bangunan Pembentuk Daya
Saing ala Porter (diadaptasi dari www.isc.hbs.edu)
Tingkatan daya saing kedua dibangun
oleh elemen dari daya saing makroekonomi. Pembangunan sumber daya manusia dan kerangka
kelembagaan politik dan kepemerintahan adalah pilar pertama yang menopang daya
saing makroekonomi. Pilar pembangunan
sumber daya manusia ini terdiri dari tiga elemen yaitu (1) elemen pembangunan manusia
(pendidikan dasar, kesehatan, persamaan kesempatan, dll.), (2) elemen kepastian
hukum (hukum perlindungan hak cipta, hak asasi, dan persamaan di hadapan hukum,
dll.), dan (3) elemen kelembagaan politik (kestabilan politik, transparansi
kebijakan public, dll.) Pilar kedua dari
daya saing makroekonomi ditopang oleh soliditas kebijakan fiskal dan moneter. Pilar ini melingkupi elemen kebijakan fiskal
yang berperan pada efektifitas penyelarasan pendapatan dan pengeluaran negara, dan
baiknya kebijakan moneter yang ditandai dengan rendahnya tingkat inflasi, dan tingkat
kestabilan ekonomi.
Daya saing mikroekonomi
ditempatkan Porter pada sebagai atap (menempati tingkatan puncak) dari bangunan
daya saing bangsa secara keseluruhan. Daya
saing mikroekonomi ini ditopang oleh tiga pilar penting: (1) pilar kualitas
lingkungan bisnis (2) pilar kondisi bangunan kawasan ekonomi (industri), dan
(3) pilar tingkat kompleksitas operasi dan strategi dari unit-unit usaha yang
berpartisipasi dalam ekosistem usaha suatu negara. Pilar
kualitas lingkungan bisnis ditentukan oleh atmosfer produktivitas, inovasi, dan
pertumbuhan unit-unit usaha. Kuatnya pilar kondisi bangunan kawasan
ekonomi ditentukan oleh kualitas interaksi antar komponen pembentuk lingkungan
bisnis ybs (lihat kembali model “Belah Ketupat”/ Gambar 1). Keberadaan kawasan ekonomi yang
mengkonsentrasikan beragam unit usaha dengan arah industri yang sejalan
sangatlah penting bagi proses stimulasi transformasi bisnis dan peningkatan
produktivitas kawasan tersebut. Pada
pilar terakhir, tentunya kemampuan unit-unit usaha dari segi keahlian,
kapasitas produksi, dan manajemen yang baik, menjadi modal fundamental bagi
terbentuknya daya saing mikro ekonomi secara keseluruhan. Tanpa didukung oleh keberadaan unit-unit usaha
yang kompetitif dan memiliki kompleksitas operasi dan strategi yang tinggi,
maka kemungkinan terbinanya tingkat daya saing mikroekonomi yang kuat baik pada
level unit usaha maupun pada level agregat akan menjadi kecil.
Penutup
Konsep daya saing bangsa yang
dibahas disini (versi Michael E Porter), bukanlah satu-satunya konsep daya
saing yang popular. Sementara konsep
Porter banyak mengadopsi sudut pandang daya saing dari kacamata investor dan
kaum pengusaha, terdapat pula sistem daya saing lain yang lebih memberi
penekanan pada sudut pandang lain, seperti penekanan pada aspek pembangunan
negara yang penciptaan nilai yang berkelanjutan (Bris & Caballero, 2014), penekanan pada pengembangan
kompetensi dan ilmu pengetahuan suatu negara, dll (Barney, 1991; Huseini, 1999). Oleh
karenanya, meskipun konsepsi Porter mengandung banyak perspektif berguna bagi
pendefinisian dan prioritisasi arah pembangunan, pengadopsian dan pengembangan
konsep daya saing bangsa hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan nilai luhur
yang dijunjung tinggi negara ybs. Begitu
pula dengan Indonesia, perlu disintesis, dikembangkan, dieksekusi, dan
dievaluasi metrik daya saing yang relevan dengan kondisi dan penekanan nilai bangsa
kita (Pancasila, dan UUD ’45) namun juga relevan bagi peningkatan daya-tarik negara
pada strata perekonomian global.
Referensi
Barney, J. (1991). Firm Resources and Sustained Competitive
Advantage. Journal of Management, 17(1), 99–120.
Bris, A., & Caballero, J. (2014). Revisiting the
Fundamentals of Competitiveness: a Proposal. IMD World Competitiveness
Yearbook, 1(1), 492–503.
Huseini, M. (1999). Mencermati Misteri Globalisasi: Menata
Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan
Resource-Based. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. Harvard
Business Review, 68, 73–93.